Memaafkan

Memaafkan

Loading

Memaafkan …sebelum Kabur ke Mars

Memaafkan– Bulan lalu angkatan saya di SMP mengadakan reuni. Saya yang biasanya enggan ikut acara kumpul-kumpul menyatakan akan hadir karena salah satu panitianya adalah Wiwied, sahabat saya. Namun kepada Wiwied juga saya protes, menjelang Hari-H, karena  dalam permainan saya satu kelompok dengan Xaman.

“Memang Xaman itu nyebelin,” kata Wiwied, yang membuat saya merasa dipahami. “Tapi nggak bisa diubah kelompoknya, karena sudah pakai rumus.” Kalimat terakhir ini membuat saya ingin menghubungi Elon Musk, mendaftarkan diri sebagai relawan ke  Planet Mars sebagai alibi.  Mungkin Elon juga bisa menjelaskan rumus matematika yang dipakai Wiwied.

Sebelum saya kabur ke Mars, datang kabar dari Lily, teman SMP yang  tinggal dekat rumah saya sekarang. Lily cukup paham dengan cerita tentang Xaman. “Di sekolah kita ada dua Xaman. Yang datang di reuni itu Xamanto,” katanya. Saya merasakan kelegaan di dalam hati. Bersyukur yang satu grup dengan saya bukan Xaman yang nyebelin.  Lebih bersyukur lagi tidak jadi ke Planet Mars.

Antara Zombie dan Celurit

Kecemasan jelang reuni itu saya tuangkan dalam tulisan sebelumnya   Di tulisan itu saya bercerita tentang Xaman yang senang melakukan verbal bullying, tidak hanya di SMP, tetapi juga sebelumnya, saat kami sama-sama SD.

Peristiwa itu terjadi hampir 50 tahun yang lalu. Saya tidak pernah memikirkan atau mengingat peristiwa itu. Namun tanpa saya sadari, ketika akan bertemu dengan Xaman yang sering mem-bully saya dulu, saya menjadi cemas.

Beberapa teman SMP saya berkomentar,  sudah hampir 50 tahun kok masih jadi pikiran.

Kalau kata Asep Haerul Gani (Kang Asep), psikolog yang mendalami psikologi pemaafan, peristiwa yang menyakitkan tidak selayaknya dibuang untuk dilupakan. Melupakan sama dengan mengingat, kata Kang Asep dalam buku Forgiveness Therapy. Ketika kita berusaha melupakan, maka kita seperti menyimpan peristiwa itu di dalam memori. 

Saya memang tidak dengan sengaja melupakannya. Peristiwa itu terkikis oleh buanyaak pengalaman positif yang saya rasakan dalam perkembangan saya menjadi remaja dan dewasa.

Sekalipun saya tidak menghindarinya, ia menjadi zombie yang bersembunyi di kegelapan. Ketika ada kabar ia akan muncul, saya kaburrrr.

Kun Nasython, seorang sahabat SMP yang membaca cerita  bullying itu, mengatakan bahwa saya pendendam. Bisa jadi. Mungkin tepatnya, kalau istilah Kang Asep, saya seperti memegangi celurit yang ditusukkan ke tubuh saya beserta penusuknya. Saya bawa mereka ke mana saya pergi. Bisa jadi tidak ada lagi rasa sakit karena sudah terbiasa. Akan tetapi saat celurit bergerak karena tersenggol, rasa nyeri yang hebat muncul lagi.

Entah itu Zombie (analogi saya) atau celurit (analogi Kang Asep), keduanya terkait emosi negatif. Sampai kapan saya membersamai Si Z atau C itu? 

Lebih konyol lagi, gara-gara mereka saya mesti migrasi ke Planet Mars?

 

Belajar Memaafkan

 Saat menulis pengalaman bullying di SMP saya sebetulnya malu karena harus membuka kisah yang sudah terkubur. Namun di reuni itu Kun mengatakan bahwa dia ingin membaca lagi tulisan-tulisan saya. Kun mendorong saya menulis cerita heartfelt dari acara reuni itu. Cerita paling menggores adalah bullying di masa SMP. Maka, sepulang reuni saya pun mengetik. Hanya dalam semalam saya, bisa menyelesaikan tulisan itu.

Sewaktu akan mem-publish tulisan, saya teringat pada buku Forgiveness Therapy.  Buku itu saya peroleh saat mendaftar pelatihan memaafkan yang diampu Kang Asep. Saya tidak hadir, namun mendapat buku, dan ikut sesi di Telegram.  Kang Asep cukup cespleng dalam memberikan paparan tentang memaafkan.

Menurut Kang Asep, langkah pertama adalah “melepas” orang itu juga celuritnya (alat yang membuat sakit hati, misalnya, kata-kata). Ya, sih, apa yang dikatakan Xaman, di ruang mana saja di sekolah dia mengatakannya, dan bagaimana dia menyampaikannya sangat hidup di kepala saya seperti film. Saya juga mengingat-ingat efek bully-nya: saya tidak mau disatukan  dalam kelompok dengan Xaman saat reuni. Kalau saya sudah bisa melepas pemilik celurit, berarti saya bisa melepas celurit dari tubuh saya, dan kemudian mengobati luka.

Salah satu cara yang disebutkan Kang Asep adalah dengan menulis jurnal. Saya pikir cara ini lebih tepat untuk saya dibanding cara yang lain yang ditawarkan. Saya pernah dua kali mengikuti pelatihan menulis jurnal metode Ira Progoff di Australia di kisaran tahun 2014-2015. Saya akan belajar memaafkan dengan menulis jurnal.

 

Journaling

Pada saat menulis blog ini, saya dalam proses memulai membuat jurnal. Proses yang saya jalani masih panjang, dan saya tidak bisa memastikan kapan saya akan berhenti. Semua tergantung pada kebutuhan dan keputusan saya, seperti halnya pemaafan ini adalah keputusan saya agar saya bebas dari Zombie, celurit atau pikiran kabur ke Mars.

Ada baiknya saya tulis di sini proses yang kira-kira saya jalani:

Dalam langkah A, pendahuluan, ada tiga hal yang saya lakukan. Pertama, menetapkan niat bahwa saya akan menulis jurnal secara rutin. Karena saya beragama Islam, saya meminta izin Allah dan memohon pendampingannya dalam ikhtiar ini. Lalu  saya memfokuskan siapa yang akan saya maafkan dan dalam hal apa (bahasa Kang Asep adalah pembawa celurit, dan celuritnya). Terakhir di tahap ini, saya memaafkan diri saya. Sebelum memaafkan orang lain, saya harus memaafkan diri saya. Saya memaafkan diri saya atas situasi  yang membuat Xaman berbuat tertentu, atas response saya, atau atas dendam yang berkepanjangan.

Langkah B merupakan surat-surat kepada Xaman:

Surat pertama, menguraikan segala hal yang pernah dia ucapkan atau lakukan. Yang kedua, menyampaikan apa yang saya rasakan mendengar kata-katanya atau perbuatannya. Ketiga, menulis efek kata-kata atau perbuatannya terhadap saya.

Pada langkah C, mungkin saya akan berubah menjadi bersimpati atau kasihan terhadap Xaman. Di langkah ini saya akan meminta maaf. Mungkin atas kebencian saya kepadanya, mungkin atas dendam saya.

D, langkah terakhir, mungkin diperlukan, mungkin tidak. Pada langkah ini saya  menulis apa yang saya inginkan dari Xaman saat ini. Sepertinya langkah ini  tidak perlu ya, karena saya kecil kemungkinan saya akan berurusan dengan Xaman. 

Alhamdulillah Ada Reuni

Reuni itu merupakan tonggak untuk pembebasan diri saya. Karena ada reuni, saya mengundang kembali sosok Xaman, merasakan proses yang tidak menyenangkan, mendapatkan reaksi dari lingkungan, dan akhirnya menetapkan langkah.

Ketika menulis cerita bullying saya sudah mulai lega, dan sekarang saat sudah bulat apa yang akan saya lakukan, sebagian beban pun terangkat.

Saya tidak tahu kapan saya akan berhenti menulis jurnal. Dalam penulisan jurnal metode Progroff, proses itu berlangsung mengalir, sampai kita bisa melakukan monolog.

Semoga saja Zombie akan pergi dengan bahagia, celurit kembali aktif menyabit rumput, dan Planet Mars tak lagi jadi alibi.

Bullying Lima Dekade Kemudian

Bullying Lima Dekade Kemudian

Loading

Bullying … Lima Dekade Kemudian

Bullying Lima Dekade Kemudian – Menjelang acara reuni SMP, saya dihantui oleh verbal bullying yang saya alami di sekolah. “Itu kan sudah lama,” kata teman-teman yang saya curhati tentang kecemasan saya.

Saya terhenyak. Iya ya kan sudah hampir 50 tahun berlalu. Saya juga tidak pernah memikirkan atau mengingat peristiwa itu. Namun tanpa saya sadari, ketika akan bertemu dengan sosok yang sering mem-bully saya dulu, saya bereaksi.

Lebih Powerful?

Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang,  baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya (APA, 2023). Definisi lain mengatakan bahwa bullying dilakukan secara sengaja, terus-menerus, oleh pihak yang lebih kuat.

Mengacu pada definisi-definisi di atas, kejadian yang saya alami ketika bersekolah termasuk kategori bullying.  Menyakiti (secara verbal)? Ya, Xaman (bukan nama sebenarnya) bercuit setiap hari bila kami bertemu. Sengaja? Yalah. Dia langsung mengejek sewaktu kami berpapasan atau berhadapan. Terus menerus? Pasti. Bully-nya berlangsung terus-menerus. sejak kami duduk di SD hingga SMP. Pihak lebih kuat? Hmm … Dia lelaki tapi tubuhnya tidak besar. Soal prestasi akademik, sorry to say, dia bukan anak pintar. Dia hanya lebih berani bersuara nyaring dibanding saya yang pendiam. 

Apa yang dilakukan Xaman terhadap saya? Hal terawal yang saya ingat adalah dia memelesetkan pekerjaan ibu saya yang penjahit menjadi “penjahat”. Saya ingat ejekan itu, karena saya pernah menangis saat pulang sekolah. di depan ibu saya yang tengah menjahit. Ibu saya tetap cool mendengar laporan saya, dan mengatakan bahwa mungkin ibunya yang penjahat.

Ya, di saat itu, tahun ’70-an, kesadaran masyarakat akan perlindungan anak belum tumbuh seperti sekarang. Belum ada lembaga peduli anak semacam KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Orang tua pun tidak segera melabrak sekolah bila anaknya disakiti anak lain. 

Hak anak secara legal baru ada melalui Sidang Umum MPR pada 14-21 Oktober 1999 dengan dibuatnya  Amandemen UUD ’45. Pasal 28 B ayat 2, dalam  Amandemen UUD 1945, berbunyi:  Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Jadi di tahun ’70-an hingga sebelum tahun 1999 telah terjadi  pembiaran terhadap perilaku kekerasan terhadap anak. 

Mengapa Si Kurus Hitam Pendiam Jadi Sasaran

Saya tidak pernah paham mengapa saya menjadi sasaran Xaman.  Saya anak kurus, hitam, pendiam. Sekalipun rapor saya baik, guru tidak pernah dengan nyata memuji saya. Saat itu pun belum masanya guru melontarkan pertanyaan klasikal (ditujukan kepada seluruh kelas), dan siswa berebut menjawabnya. Jadi hanya guru dan saya yang tahu bahwa nilai-nilai saya baik, dan saya menyerap pelajaran dengan mudah.  

Eh, tapi bisa jadi isunya bukan saya, tapi diri Xaman sendiri. Mungkin nilai-nilai ulangannya rendah, atau dia sulit memahami pelajaran. 

Saya hanya bisa menduga-duga. Menurut Schreeuer (2015), orang melakukan bully karena kebutuhannya tidak terpenuhi. Ia melabrak aturan dalam masyarakat untuk mendapatkan pengakuan. Ada kemungkinan ia merasa rendah diri dan tak penting. Agar dirinya terlihat superior,  ia pun merendahkan orang lain.

Saat saya menerima bullying, saya masih terlalu kecil untuk melakukan analisis latar belakang Xaman. Saya hanya tahu dia anak bungsu dengan banyak kakak perempuan, dan tinggal di sebuah kompleks perumahan pegawai kelas menengah. Selintas, tidak ada yang salah dengan status sosialnya, namun saya tidak tahu hubungan orang tuanya, bagaimana orang tuanya mendidik anak-anaknya, serta bagaimana ia diperlakukan di dalam keluarga.

Yang jelas, pastinya ada luka mendalam pada diri Xaman sehingga ia melakukan bullying.

Dampak Bullying

CBSNews mengutip American Journal of Psychiatry (2014) menulis bahwa dampak bullying bisa berlangsung hingga 40 tahun kemudian. 

Ini menjadi jawaban mengapa sampai hampir lima dekade saya lulus SMP, saya belum baik-baik saja saat akan berhadapan dengan Xaman. Tusukan perih yang ditancapkannya masih melekat di benak saya. 

Penelitian lain (Menestrel, 2020) menyebutkan bahwa bullying bisa menyebabkan korban di saat dewasa menjadi tidak percaya diri, depresi, cemas, dan cenderung menyendiri. 

Alhamdulillah saya tidak menjadi rendah diri, depresi, cemas, atau ingin menyendiri. Memang, saya lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi, Namun sepertinya hal itu disebabkan oleh faktor kepribadian.  

Malah, saya akui, label bahwa ibu saya seorang “penjahat” membuat saya jadi lebih menghargai perjuangan Ibu dengan keterampilan menjahitnya. Bahkan saya juga ikut-ikutan senang menjahit saat ini. 

Pengalaman buruk di masa kecil berdampak positif pada kiprah saya di bidang pendidikan. Saya berjanji pada diri saya untuk memperhatikan setiap anak yang berada di dalam institusi saya, dan memastikan mereka tumbuh dengan wellbeing yang baik. 

Sayang, Xaman tidak hadir pada reuni itu. Kalau dia hadir, saya bisa mengurai emotional baggage yang saya bawa selama 50 tahun dengan berdiri di depan dia. Apa yang akan saya lakukan? Me-roasting, memberi hukuman fisik, menjerit histeris? Baca tulisan saya berikutnya