Naik Bus Pagi Yogya-Jakarta

Naik Bus Pagi Yogya-Jakarta

Loading

Pe

Naik Bus Pagi Yogya-Jakarta

Naik bus pagi Yogya-Jakarta – Tidak ada yang aneh dengan moda transportasi ini. Sudah jutaan orang naik bus dari Yogyakarta ke Jakarta. Namun setiap perjalanan pasti akan memberikan pengalaman berbeda, karena lokasi asal dan destinasi belum tentu sama, operator bus berbeda, dan jam keberangkatan berbeda. Terlebih lagi tanggal pasti berbeda. Nah, tanggal ini mungkin akan berpengaruh pada kebijakan pemerintah atau pengelola bus.

Saya akan bercerita tentang perjalanan pertama saya dan suami saya naik bus dari Yogya ke Jakarta, naik bus Executive/VIP Handoyo dari Terminal Giwangan Yogyakarta ke Pasar Rebo, Jakarta, pada tanggal 23  Mei 2023.

Ini adalah perjalanan pertama kami naik bus kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Biasanya kami naik mobil pribadi, karena suami saya hobi menyetir. Kalau pergi sendiri, saya naik kereta api atau pesawat.

Suami saya sedang ingin beristirahat di perjalanan, jadi dia mengusulkan kami naik bus kota saja. Saya yang ditugasi mencari bus di aplikasi Traveloka. Pemesanan dilakukan hanya H-1 sebelum berangkat.

Naik bus pagi

Berkenalan dengan Bus Handoyo

Kami memilih armada yang sesuai dengan hari kepulangan kami dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketika berangkat kami naik Unicorn Indorent (yang tergolong “bus sultan”), jadi pulangnya kami memilih  naik bus rakyat (yang berangkat pagi). Ada satu armada yang pernah dinaiki suami saya, dan dia puas. Namun armada itu tidak bekerja sama dengan Traveloka. Dan dapatlah Handoyo.

Bus Handoyo dikelola oleh  Daniel Handoyo, yang melanjutkan usaha orang tuanya yang dimulai tahun 1975. Di bawah pimpinannya, Daniel Handoyo mengembangkan trayek pelayanan hingga Sumatra, dan kini PO Handoyo memiliki lebih dari 100 bus. Di samping itu grup Handoyo juga mengelola rumah makan di Indramayu Jawa Barat dan Gringsing, Jawa Tengah.

PT Indo Transport Abdimas, yang membawahi PO Handoyo, tidak punya website khusus. Kalau kita mengetik Indo Transport Abdimas, kita akan diarahkan ke Indo Trans Travel, yang bergerak di bidang penyewaan mobil travel.

Bahwa Handoyo berada di bawah perusahaan besar, membuat kami yakin akan mendapat pelayanan yang baik, seperti pernyataan Daniel di kanal Hino, “Semua ini berkat kerja keras, pelayanan yang baik kepada penumpang ….”  

 

 

Naik Bus Pagi

Fasilitas

Berikut saya list fasilitas yang tertulis pada tiket elektronik traveloka dan realita:

Kursi Recliner

Kursi pada bus dapat disetel untuk tegak atau setengah rebah. Di bawah kursi ada penumpu kaki (leg rest). Secara umum, kursi Handoyo ini nyaman. Jarak dengan penumpang depan cukup jauh. 

Hiburan Sentral

Pada bagian depan bus di atas pengemudi ada monitor untuk video hiburan. Untunglah selama perjalanan monitor itu tidak dinyalakan. Kan selera orang satu bus tidak sama. Nanti ada yang suka dangdut, ada yang suka Melayu, ada yang pop. Bisa riweuh, dan mengganggu perdamaian.

Toilet

Di dalam bus ada toilet untuk buang air kecil. Saya tidak menengok bagaimana kondisi di dalam. Pada reviu-reviu bus Handoyo dikatakan bahwa toilet bus terjaga kebersihannya.

Tempat Istirahat

Mungkin maksudnya restoran untuk makan siang dan salat ya. Ya, sekitar pukul 11.00 bus berhenti di Restoran Indorasa di Gringsing, Batang, Jawa Tengah. Kami mendapat sajian makan siang berupa nasi, dengan lauk ayam goreng, mi, lodeh dan kerupuk, serta teh hangat manis. Saya makan dengan lahap karena sejak pagi perut saya kosong. 

Di salah satu sudut resto ada charging port, yang segera kami manfaatkan. Di bus tidak ada fasilitas pengecasan, sementara baterai HP kami semakin lemah. Tertulis ada biaya Rp1.000. 

AC

Pendingin bekerja cukup baik. Saya agak kedinginan, tapi tidak perlu selimut. Pada beberapa reviu bus di Youtube ditulis bahwa tempat duduk  Exe mendapat selimut. 

Bagasi Besar

Di perut bus ada ruang bagasi untuk semua penumpang. Cukup luas, jadi bagasi kita tidak tertumpuk-tumpuk.

Setiap penumpang mendapat jatah bagasi 10 kg. Tidak ada penimbangan, tapi sepertinya awak bus sudah bisa memperkirakan bagasi 10 kg itu sebesar apa.  

naik bus pagi
Naik Bus Pagi

My Philosophy

01

Sed porttitor lectus nibh

Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Cras ultricies ligula sed.

02

Quisque velit nis pretium ut

Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Cras ultricies ligula sed.

03

Pellentesque in ipsum id orci

Vivamus magna justo, lacinia eget consectetur sed. Nulla quis lorem ut libero malesuada feugiat. Cras ultricies ligula sed.

Teh di Gelas Plastik di Terminal Giwangan

Kami tiba di Terminal Giwangan sekitar pukul 5.30, berharap bisa membeli sarapan di sana. Kami duduk di depan warung, di sudut, yang kata beberapa orang, merupakan tempat menunggu bus Handoyo.

Saya memesan teh manis. dan datanglah teh manis di gelas plastik. Ketika saya bertanya tentang makanan, pemilik warung (bernama Mbak Ani), mengatakan hanya ada mi instan dalam kemasan. Mi instan rebus/goreng pun tidak ada.

“Di sini tidak ada makanan yang dimasak,” kata Mbak Ani.

“Tidak boleh ada kompor ya?” tanya saya.

“Tidak ada air buat cuci-cuci. Kalau perlu air pakai air galon atau ke toilet. Bayar,” katanya.

Mata saya menjelajahi jualannya. Biskuit, kue kering, air mineral, dan minuman kemasan. Semua pabrikan.

Mbak Ani seperti mengikuti pandangan saya. “Semua warung juga sama,” katanya.

Wow wow wow … Sebagai pejuang minim sampah, saya merasa gimanaaa gitu.

Memang sih terminal itu bersih dari sampah. Namun barang-barang di deretan warung adalah calon sampah anorganik semua. 

Betapa “modernnya” Yogyakarta. 

Naik Bus
Naik Bus

Giwangan

Terminal terbesar di Yogyakarta

Terletak di pusat kota

Pool bus AKAP dan transportasi desa

Naik Bus

Memaafkan

Memaafkan

Loading

Memaafkan …sebelum Kabur ke Mars

Memaafkan– Bulan lalu angkatan saya di SMP mengadakan reuni. Saya yang biasanya enggan ikut acara kumpul-kumpul menyatakan akan hadir karena salah satu panitianya adalah Wiwied, sahabat saya. Namun kepada Wiwied juga saya protes, menjelang Hari-H, karena  dalam permainan saya satu kelompok dengan Xaman.

“Memang Xaman itu nyebelin,” kata Wiwied, yang membuat saya merasa dipahami. “Tapi nggak bisa diubah kelompoknya, karena sudah pakai rumus.” Kalimat terakhir ini membuat saya ingin menghubungi Elon Musk, mendaftarkan diri sebagai relawan ke  Planet Mars sebagai alibi.  Mungkin Elon juga bisa menjelaskan rumus matematika yang dipakai Wiwied.

Sebelum saya kabur ke Mars, datang kabar dari Lily, teman SMP yang  tinggal dekat rumah saya sekarang. Lily cukup paham dengan cerita tentang Xaman. “Di sekolah kita ada dua Xaman. Yang datang di reuni itu Xamanto,” katanya. Saya merasakan kelegaan di dalam hati. Bersyukur yang satu grup dengan saya bukan Xaman yang nyebelin.  Lebih bersyukur lagi tidak jadi ke Planet Mars.

Antara Zombie dan Celurit

Kecemasan jelang reuni itu saya tuangkan dalam tulisan sebelumnya   Di tulisan itu saya bercerita tentang Xaman yang senang melakukan verbal bullying, tidak hanya di SMP, tetapi juga sebelumnya, saat kami sama-sama SD.

Peristiwa itu terjadi hampir 50 tahun yang lalu. Saya tidak pernah memikirkan atau mengingat peristiwa itu. Namun tanpa saya sadari, ketika akan bertemu dengan Xaman yang sering mem-bully saya dulu, saya menjadi cemas.

Beberapa teman SMP saya berkomentar,  sudah hampir 50 tahun kok masih jadi pikiran.

Kalau kata Asep Haerul Gani (Kang Asep), psikolog yang mendalami psikologi pemaafan, peristiwa yang menyakitkan tidak selayaknya dibuang untuk dilupakan. Melupakan sama dengan mengingat, kata Kang Asep dalam buku Forgiveness Therapy. Ketika kita berusaha melupakan, maka kita seperti menyimpan peristiwa itu di dalam memori. 

Saya memang tidak dengan sengaja melupakannya. Peristiwa itu terkikis oleh buanyaak pengalaman positif yang saya rasakan dalam perkembangan saya menjadi remaja dan dewasa.

Sekalipun saya tidak menghindarinya, ia menjadi zombie yang bersembunyi di kegelapan. Ketika ada kabar ia akan muncul, saya kaburrrr.

Kun Nasython, seorang sahabat SMP yang membaca cerita  bullying itu, mengatakan bahwa saya pendendam. Bisa jadi. Mungkin tepatnya, kalau istilah Kang Asep, saya seperti memegangi celurit yang ditusukkan ke tubuh saya beserta penusuknya. Saya bawa mereka ke mana saya pergi. Bisa jadi tidak ada lagi rasa sakit karena sudah terbiasa. Akan tetapi saat celurit bergerak karena tersenggol, rasa nyeri yang hebat muncul lagi.

Entah itu Zombie (analogi saya) atau celurit (analogi Kang Asep), keduanya terkait emosi negatif. Sampai kapan saya membersamai Si Z atau C itu? 

Lebih konyol lagi, gara-gara mereka saya mesti migrasi ke Planet Mars?

 

Belajar Memaafkan

 Saat menulis pengalaman bullying di SMP saya sebetulnya malu karena harus membuka kisah yang sudah terkubur. Namun di reuni itu Kun mengatakan bahwa dia ingin membaca lagi tulisan-tulisan saya. Kun mendorong saya menulis cerita heartfelt dari acara reuni itu. Cerita paling menggores adalah bullying di masa SMP. Maka, sepulang reuni saya pun mengetik. Hanya dalam semalam saya, bisa menyelesaikan tulisan itu.

Sewaktu akan mem-publish tulisan, saya teringat pada buku Forgiveness Therapy.  Buku itu saya peroleh saat mendaftar pelatihan memaafkan yang diampu Kang Asep. Saya tidak hadir, namun mendapat buku, dan ikut sesi di Telegram.  Kang Asep cukup cespleng dalam memberikan paparan tentang memaafkan.

Menurut Kang Asep, langkah pertama adalah “melepas” orang itu juga celuritnya (alat yang membuat sakit hati, misalnya, kata-kata). Ya, sih, apa yang dikatakan Xaman, di ruang mana saja di sekolah dia mengatakannya, dan bagaimana dia menyampaikannya sangat hidup di kepala saya seperti film. Saya juga mengingat-ingat efek bully-nya: saya tidak mau disatukan  dalam kelompok dengan Xaman saat reuni. Kalau saya sudah bisa melepas pemilik celurit, berarti saya bisa melepas celurit dari tubuh saya, dan kemudian mengobati luka.

Salah satu cara yang disebutkan Kang Asep adalah dengan menulis jurnal. Saya pikir cara ini lebih tepat untuk saya dibanding cara yang lain yang ditawarkan. Saya pernah dua kali mengikuti pelatihan menulis jurnal metode Ira Progoff di Australia di kisaran tahun 2014-2015. Saya akan belajar memaafkan dengan menulis jurnal.

 

Journaling

Pada saat menulis blog ini, saya dalam proses memulai membuat jurnal. Proses yang saya jalani masih panjang, dan saya tidak bisa memastikan kapan saya akan berhenti. Semua tergantung pada kebutuhan dan keputusan saya, seperti halnya pemaafan ini adalah keputusan saya agar saya bebas dari Zombie, celurit atau pikiran kabur ke Mars.

Ada baiknya saya tulis di sini proses yang kira-kira saya jalani:

Dalam langkah A, pendahuluan, ada tiga hal yang saya lakukan. Pertama, menetapkan niat bahwa saya akan menulis jurnal secara rutin. Karena saya beragama Islam, saya meminta izin Allah dan memohon pendampingannya dalam ikhtiar ini. Lalu  saya memfokuskan siapa yang akan saya maafkan dan dalam hal apa (bahasa Kang Asep adalah pembawa celurit, dan celuritnya). Terakhir di tahap ini, saya memaafkan diri saya. Sebelum memaafkan orang lain, saya harus memaafkan diri saya. Saya memaafkan diri saya atas situasi  yang membuat Xaman berbuat tertentu, atas response saya, atau atas dendam yang berkepanjangan.

Langkah B merupakan surat-surat kepada Xaman:

Surat pertama, menguraikan segala hal yang pernah dia ucapkan atau lakukan. Yang kedua, menyampaikan apa yang saya rasakan mendengar kata-katanya atau perbuatannya. Ketiga, menulis efek kata-kata atau perbuatannya terhadap saya.

Pada langkah C, mungkin saya akan berubah menjadi bersimpati atau kasihan terhadap Xaman. Di langkah ini saya akan meminta maaf. Mungkin atas kebencian saya kepadanya, mungkin atas dendam saya.

D, langkah terakhir, mungkin diperlukan, mungkin tidak. Pada langkah ini saya  menulis apa yang saya inginkan dari Xaman saat ini. Sepertinya langkah ini  tidak perlu ya, karena saya kecil kemungkinan saya akan berurusan dengan Xaman. 

Alhamdulillah Ada Reuni

Reuni itu merupakan tonggak untuk pembebasan diri saya. Karena ada reuni, saya mengundang kembali sosok Xaman, merasakan proses yang tidak menyenangkan, mendapatkan reaksi dari lingkungan, dan akhirnya menetapkan langkah.

Ketika menulis cerita bullying saya sudah mulai lega, dan sekarang saat sudah bulat apa yang akan saya lakukan, sebagian beban pun terangkat.

Saya tidak tahu kapan saya akan berhenti menulis jurnal. Dalam penulisan jurnal metode Progroff, proses itu berlangsung mengalir, sampai kita bisa melakukan monolog.

Semoga saja Zombie akan pergi dengan bahagia, celurit kembali aktif menyabit rumput, dan Planet Mars tak lagi jadi alibi.

Bullying Lima Dekade Kemudian

Bullying Lima Dekade Kemudian

Loading

Bullying … Lima Dekade Kemudian

Bullying Lima Dekade Kemudian – Menjelang acara reuni SMP, saya dihantui oleh verbal bullying yang saya alami di sekolah. “Itu kan sudah lama,” kata teman-teman yang saya curhati tentang kecemasan saya.

Saya terhenyak. Iya ya kan sudah hampir 50 tahun berlalu. Saya juga tidak pernah memikirkan atau mengingat peristiwa itu. Namun tanpa saya sadari, ketika akan bertemu dengan sosok yang sering mem-bully saya dulu, saya bereaksi.

Lebih Powerful?

Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang,  baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya (APA, 2023). Definisi lain mengatakan bahwa bullying dilakukan secara sengaja, terus-menerus, oleh pihak yang lebih kuat.

Mengacu pada definisi-definisi di atas, kejadian yang saya alami ketika bersekolah termasuk kategori bullying.  Menyakiti (secara verbal)? Ya, Xaman (bukan nama sebenarnya) bercuit setiap hari bila kami bertemu. Sengaja? Yalah. Dia langsung mengejek sewaktu kami berpapasan atau berhadapan. Terus menerus? Pasti. Bully-nya berlangsung terus-menerus. sejak kami duduk di SD hingga SMP. Pihak lebih kuat? Hmm … Dia lelaki tapi tubuhnya tidak besar. Soal prestasi akademik, sorry to say, dia bukan anak pintar. Dia hanya lebih berani bersuara nyaring dibanding saya yang pendiam. 

Apa yang dilakukan Xaman terhadap saya? Hal terawal yang saya ingat adalah dia memelesetkan pekerjaan ibu saya yang penjahit menjadi “penjahat”. Saya ingat ejekan itu, karena saya pernah menangis saat pulang sekolah. di depan ibu saya yang tengah menjahit. Ibu saya tetap cool mendengar laporan saya, dan mengatakan bahwa mungkin ibunya yang penjahat.

Ya, di saat itu, tahun ’70-an, kesadaran masyarakat akan perlindungan anak belum tumbuh seperti sekarang. Belum ada lembaga peduli anak semacam KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Orang tua pun tidak segera melabrak sekolah bila anaknya disakiti anak lain. 

Hak anak secara legal baru ada melalui Sidang Umum MPR pada 14-21 Oktober 1999 dengan dibuatnya  Amandemen UUD ’45. Pasal 28 B ayat 2, dalam  Amandemen UUD 1945, berbunyi:  Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Jadi di tahun ’70-an hingga sebelum tahun 1999 telah terjadi  pembiaran terhadap perilaku kekerasan terhadap anak. 

Mengapa Si Kurus Hitam Pendiam Jadi Sasaran

Saya tidak pernah paham mengapa saya menjadi sasaran Xaman.  Saya anak kurus, hitam, pendiam. Sekalipun rapor saya baik, guru tidak pernah dengan nyata memuji saya. Saat itu pun belum masanya guru melontarkan pertanyaan klasikal (ditujukan kepada seluruh kelas), dan siswa berebut menjawabnya. Jadi hanya guru dan saya yang tahu bahwa nilai-nilai saya baik, dan saya menyerap pelajaran dengan mudah.  

Eh, tapi bisa jadi isunya bukan saya, tapi diri Xaman sendiri. Mungkin nilai-nilai ulangannya rendah, atau dia sulit memahami pelajaran. 

Saya hanya bisa menduga-duga. Menurut Schreeuer (2015), orang melakukan bully karena kebutuhannya tidak terpenuhi. Ia melabrak aturan dalam masyarakat untuk mendapatkan pengakuan. Ada kemungkinan ia merasa rendah diri dan tak penting. Agar dirinya terlihat superior,  ia pun merendahkan orang lain.

Saat saya menerima bullying, saya masih terlalu kecil untuk melakukan analisis latar belakang Xaman. Saya hanya tahu dia anak bungsu dengan banyak kakak perempuan, dan tinggal di sebuah kompleks perumahan pegawai kelas menengah. Selintas, tidak ada yang salah dengan status sosialnya, namun saya tidak tahu hubungan orang tuanya, bagaimana orang tuanya mendidik anak-anaknya, serta bagaimana ia diperlakukan di dalam keluarga.

Yang jelas, pastinya ada luka mendalam pada diri Xaman sehingga ia melakukan bullying.

Dampak Bullying

CBSNews mengutip American Journal of Psychiatry (2014) menulis bahwa dampak bullying bisa berlangsung hingga 40 tahun kemudian. 

Ini menjadi jawaban mengapa sampai hampir lima dekade saya lulus SMP, saya belum baik-baik saja saat akan berhadapan dengan Xaman. Tusukan perih yang ditancapkannya masih melekat di benak saya. 

Penelitian lain (Menestrel, 2020) menyebutkan bahwa bullying bisa menyebabkan korban di saat dewasa menjadi tidak percaya diri, depresi, cemas, dan cenderung menyendiri. 

Alhamdulillah saya tidak menjadi rendah diri, depresi, cemas, atau ingin menyendiri. Memang, saya lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi, Namun sepertinya hal itu disebabkan oleh faktor kepribadian.  

Malah, saya akui, label bahwa ibu saya seorang “penjahat” membuat saya jadi lebih menghargai perjuangan Ibu dengan keterampilan menjahitnya. Bahkan saya juga ikut-ikutan senang menjahit saat ini. 

Pengalaman buruk di masa kecil berdampak positif pada kiprah saya di bidang pendidikan. Saya berjanji pada diri saya untuk memperhatikan setiap anak yang berada di dalam institusi saya, dan memastikan mereka tumbuh dengan wellbeing yang baik. 

Sayang, Xaman tidak hadir pada reuni itu. Kalau dia hadir, saya bisa mengurai emotional baggage yang saya bawa selama 50 tahun dengan berdiri di depan dia. Apa yang akan saya lakukan? Me-roasting, memberi hukuman fisik, menjerit histeris? Baca tulisan saya berikutnya