Loading

Bullying … Lima Dekade Kemudian

Bullying Lima Dekade Kemudian – Menjelang acara reuni SMP, saya dihantui oleh verbal bullying yang saya alami di sekolah. “Itu kan sudah lama,” kata teman-teman yang saya curhati tentang kecemasan saya.

Saya terhenyak. Iya ya kan sudah hampir 50 tahun berlalu. Saya juga tidak pernah memikirkan atau mengingat peristiwa itu. Namun tanpa saya sadari, ketika akan bertemu dengan sosok yang sering mem-bully saya dulu, saya bereaksi.

Lebih Powerful?

Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang,  baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya (APA, 2023). Definisi lain mengatakan bahwa bullying dilakukan secara sengaja, terus-menerus, oleh pihak yang lebih kuat.

Mengacu pada definisi-definisi di atas, kejadian yang saya alami ketika bersekolah termasuk kategori bullying.  Menyakiti (secara verbal)? Ya, Xaman (bukan nama sebenarnya) bercuit setiap hari bila kami bertemu. Sengaja? Yalah. Dia langsung mengejek sewaktu kami berpapasan atau berhadapan. Terus menerus? Pasti. Bully-nya berlangsung terus-menerus. sejak kami duduk di SD hingga SMP. Pihak lebih kuat? Hmm … Dia lelaki tapi tubuhnya tidak besar. Soal prestasi akademik, sorry to say, dia bukan anak pintar. Dia hanya lebih berani bersuara nyaring dibanding saya yang pendiam. 

Apa yang dilakukan Xaman terhadap saya? Hal terawal yang saya ingat adalah dia memelesetkan pekerjaan ibu saya yang penjahit menjadi “penjahat”. Saya ingat ejekan itu, karena saya pernah menangis saat pulang sekolah. di depan ibu saya yang tengah menjahit. Ibu saya tetap cool mendengar laporan saya, dan mengatakan bahwa mungkin ibunya yang penjahat.

Ya, di saat itu, tahun ’70-an, kesadaran masyarakat akan perlindungan anak belum tumbuh seperti sekarang. Belum ada lembaga peduli anak semacam KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Orang tua pun tidak segera melabrak sekolah bila anaknya disakiti anak lain. 

Hak anak secara legal baru ada melalui Sidang Umum MPR pada 14-21 Oktober 1999 dengan dibuatnya  Amandemen UUD ’45. Pasal 28 B ayat 2, dalam  Amandemen UUD 1945, berbunyi:  Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Jadi di tahun ’70-an hingga sebelum tahun 1999 telah terjadi  pembiaran terhadap perilaku kekerasan terhadap anak. 

Mengapa Si Kurus Hitam Pendiam Jadi Sasaran

Saya tidak pernah paham mengapa saya menjadi sasaran Xaman.  Saya anak kurus, hitam, pendiam. Sekalipun rapor saya baik, guru tidak pernah dengan nyata memuji saya. Saat itu pun belum masanya guru melontarkan pertanyaan klasikal (ditujukan kepada seluruh kelas), dan siswa berebut menjawabnya. Jadi hanya guru dan saya yang tahu bahwa nilai-nilai saya baik, dan saya menyerap pelajaran dengan mudah.  

Eh, tapi bisa jadi isunya bukan saya, tapi diri Xaman sendiri. Mungkin nilai-nilai ulangannya rendah, atau dia sulit memahami pelajaran. 

Saya hanya bisa menduga-duga. Menurut Schreeuer (2015), orang melakukan bully karena kebutuhannya tidak terpenuhi. Ia melabrak aturan dalam masyarakat untuk mendapatkan pengakuan. Ada kemungkinan ia merasa rendah diri dan tak penting. Agar dirinya terlihat superior,  ia pun merendahkan orang lain.

Saat saya menerima bullying, saya masih terlalu kecil untuk melakukan analisis latar belakang Xaman. Saya hanya tahu dia anak bungsu dengan banyak kakak perempuan, dan tinggal di sebuah kompleks perumahan pegawai kelas menengah. Selintas, tidak ada yang salah dengan status sosialnya, namun saya tidak tahu hubungan orang tuanya, bagaimana orang tuanya mendidik anak-anaknya, serta bagaimana ia diperlakukan di dalam keluarga.

Yang jelas, pastinya ada luka mendalam pada diri Xaman sehingga ia melakukan bullying.

Dampak Bullying

CBSNews mengutip American Journal of Psychiatry (2014) menulis bahwa dampak bullying bisa berlangsung hingga 40 tahun kemudian. 

Ini menjadi jawaban mengapa sampai hampir lima dekade saya lulus SMP, saya belum baik-baik saja saat akan berhadapan dengan Xaman. Tusukan perih yang ditancapkannya masih melekat di benak saya. 

Penelitian lain (Menestrel, 2020) menyebutkan bahwa bullying bisa menyebabkan korban di saat dewasa menjadi tidak percaya diri, depresi, cemas, dan cenderung menyendiri. 

Alhamdulillah saya tidak menjadi rendah diri, depresi, cemas, atau ingin menyendiri. Memang, saya lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi, Namun sepertinya hal itu disebabkan oleh faktor kepribadian.  

Malah, saya akui, label bahwa ibu saya seorang “penjahat” membuat saya jadi lebih menghargai perjuangan Ibu dengan keterampilan menjahitnya. Bahkan saya juga ikut-ikutan senang menjahit saat ini. 

Pengalaman buruk di masa kecil berdampak positif pada kiprah saya di bidang pendidikan. Saya berjanji pada diri saya untuk memperhatikan setiap anak yang berada di dalam institusi saya, dan memastikan mereka tumbuh dengan wellbeing yang baik. 

Sayang, Xaman tidak hadir pada reuni itu. Kalau dia hadir, saya bisa mengurai emotional baggage yang saya bawa selama 50 tahun dengan berdiri di depan dia. Apa yang akan saya lakukan? Me-roasting, memberi hukuman fisik, menjerit histeris? Baca tulisan saya berikutnya